Minggu, 19 Juli 2009

Sakit karena kebanyakan latihan

Sudah tiga hari aku sakit panas. Dari hari Sabtu. Kayaknya sih kecapekan karena latihan di sekolahnya lama. Ya udah, aku terpaksa nggak masuk karena panasku sangat tinggi. Aku hanya tiduran. Kadang di kamar sambil mendengarkan musik dari handphone, tiduran di kamarnya ibu, tiduran di depan teve sambil menonton teve.
Aku latihan karena tanggal 4 Agustus nanti, aku harus lomba macapat dan rebana di sekolahku sendiri, SD Isriati Moenadi Ungaran.
Aku juga nggak ada yang jemput. Kan bapak sama ibu kerja. Aku pulang bareng sama Mas Icad yang juga ikut lomba 4 Agustus nanti. Macapat dan pidato.
Pada Hari kedua, aku diajak makan sama guru. Tapi Mas Icad menolak. Takut ibunya sudah menjemput. Aku hanya ikut-ikutan. Sejujurnya, aku juga lapar sih. Tapi kalau ibunya Mas Icad udah dateng, kan berabe.
Aku duduk di lantai sambil senden. Yah, perutku sudah kelaparan. Biasanya aku sudah makan dengan makanan yang Mbak Ririn buat. Tapi kau aku harus latihan. Aku dipergoki oleh Pak Tangguh, guru menggambar.
"Kok loyo, Bit?"
"Belum makan."
"Laper?" Aku mengangguk.
Aku berharap, ibunya Mas Icad cepat datangmenjemput dan aku makan siang di rumah dengan lahap. Itu bayanganku.
"Siapa yang tadi bilang laper?" Wah! Pak Eko!
"Makan yo! Sama Pak Eko. Makan soto ayam." Aku hanya tetap diam, namun badan dan pikiranku senang. Aku menyembunyikannya agar tidak terlihat orang lain.
"Bener-bener lemes iki! Ayo! Berdiri Bareng Pak Eko! Icad sama Anggi juga yo!" Kami bertiga berdiri dan mengikuti Pak Eko dengan jalan kaki. Di tengah jalan, ibunya Mas Icad sudah datang.
"Mau diba ke mana ini, pak?"
"Anak-anak ini laper. Saya mau makan siang bareng anak-anak. Pinarak dulu bu, sambil nunggu."
"O.... ya udah."
Sampai di depan warung soto ayam, kami duduk di kursi dan memesan makanan.
Saat pesanan datang, aku melahap langsung semua makananku. Setelah membayar, aku pulang bareng ibunya Mas Icad.
Esok harinya, aku pusing dan lemas. Disuruh nggak ngaji.
Kata ibu, sekolahku payah. Harusnya kalau latihan, dibilangin kalau harus membawa bekal sendiri. Satu lagi. Saat rebana, aku disuruh membali kasetnya sendiri. Padahal, anak-anak sudah membayar SPP.
Yah, tanggapanku hanya ada di dalam hati. Semua yang dikatakan oleh bapak dan ibu itu semuanya benar....

Senin, 06 Juli 2009

Persahabatan Nirma dan Sania

Nirma akan berulang tahun sebentar lagi. Di bulan Januari tanggal satu. Bersamaan dengan tanggal tahun baru dan tahun baru Imlek. Semua persiapan sudah disiapkan dengan sebaik mungkin. Nirma juga membantu.
Tinggal menghitung jam, Nirma sudah berumur 9 tahun. Nirma sudah membagikan kartu undangan kepada teman-temannya untuk datang ke pesta ulang tahunnya.
Terutama sahabatnya yang bernama Sania.
"Kamu datang ya."
"Ya pasti! Dan aku akan datang sebelum teman-teman yang lain datang ke pestamu yang pasti meriah nanti."
"Aku mau membagikan kartu ini dulu. Untuk yang lain. Jangan lupa datang ya!"
Jam demi jam telah berlalu. hanya tinggal menunggu beberapa menit lagi, pesta akan di mulai. Nirma menunggu Sania dengan bersemangat. Namun, Sania belum datang-datang juga. Hingga akhirnya, semua teman yang sudah diundang datang semua. Nirma mulai cemas. memang, rumah Sania dengan Nirma lumayan jauh.
Salah satu temannya mendatangi Nirma dan bertanya:
"Nir, kapan pestanya akan dimulai?"
"Tunggu sebentar lagi. Tinggal menunggu Sania yang belum datang."
"Okelah. Tapi, jangan lama-lama!" Temannya meninggalkan Nirma dan bergabung dengan yang lain. Nirma duduk kembali, dan kecemasannya mulai bertambah karena Sania belum juga datang.
Orang tuanya datang menghampiri Nirma dan duduk di sampingnya.
"Nir, pestanya dimulai sekarang yuk! Kasihan, teman-teman yang lain sudah menunggu lama." Kata ibunya.
"Tapi, Nirma mau menunggu Sania sebentar lagi. Kasihan Sania, kalau datangnya telat."
"Ya sudah. Kalau itu yang kamu mau. Tapi beberapa menit lagi harus segera dimulai. Ayah kasih waktu, 5 menit lagi. Mungkin, Sania sedang ada hambatan."
"Baik, yah." Jawab Nirma semangat.
Waktu yang ayah berikan sudah berlalu. Nirma akhirnya mulai tak bergairah dan berjalan ke panggung untuk memulai pesta tanpa sahabat terbaiknya.
* * *
DI RUMAH SANIA
Hujan turun dengan sangat derasnya. Sania hanya memandang langit yang terus mengguyurkan air di daerah rumahnya. Sania akhirnya memutuskann menelfon Nirma. Ia memencet nomor rumah Nirma. Ia bermaksud memberitahukan pada Nirma, bahwa dia tidak bisa datang karena banyak hambatan. Karena ayahnya sakit, kakaknya ada pelajaran tambahan di unevirsitas, ibunya sedang keluar kota, dan pembantunya tidak bisa mengendarai motor. Sania sudah memencet nomor. Sania menunggu sejenak. Tapi yang terjawab hanyalah:
'Maaf, cobalah menelfon beberapa saat lagi.'
Sania menutup telepon dan mendesah. Tapi, ia berkata dalam hati. ia kan sahabatku, pasti akan mengerti masalahku. Dan Sania tertidur di ranjangnya yang empuk.
* * *
Kemarin adalah hari liburan terakhir. Nirma mulai berangkat sekolah di antar dengan sopirnya. Nirma masih terasa jengkel dengan Sania. Pelajaran di mulai. Saat istirahat, Sania mengajak Nirma ke kantin sambil membicarakan soal ulang tahun Nirma kemarin. Nirma menolak dengan tegas.
"Kenapa kamu nggak mau?"
"Ah, nggak papa. Aku cuma males ajah!" Nirma memalingkan wajah dan keluar kelas.
Sania mendesah. Ia hanya duduk di kursi dan membuka bekalnya.
Sudah beberapa hari, Nirma marah dengan Sania. Sania sudah mencoba berbagai cara dari, mengajak ke kantin, mengobrol, saat mengerjakan tugas kelompok, tapi tak satu carapun berhasil. Akhirnya, ia pun memutuskan utnuk menulis surat pada Nirma. Ia berharap, surat ini berhasil. Sania mengambil secarik kertas dan pena saat sedang istirahat di sekolah.
Suratnya begini:
Assalamu'alaikum.wr.wb
Hi, Nirma....
Aku cuma mau membahas tentang kesalahanku karena tidak datang ke pestamu.
Pertama:Ayahku sedang sakit
Kedua:Kakakku sedang di universitas dan ada pelajaran tambahan
Ketiga:Ibuku ada di luar kota
Keempat:Pembantuku tidak bisa mengendarai motor
Kelima:Hujan deras di daerahku
Keenam:Letak rumahku dan rumahmu lumayan jauh.
Maaf sekali. Tolong balas suratku.
Sahabat Terbaikmu
SANIA

* * *
Di rumah Sania, Sania melipat surat untuk Nirma dan memasukkannya ke amplop. Ia pamit pada pembantunya untuk ke kantor pos.
Letak kantor dengan rumahnya tak terlalu jauh. Maka, Sania hanya memakai sepedanya.
Di kantor pos, Sania membeli prangko sebelum menyerahkan kepada tukang pos.
Setelah itu, ia pulang dan tidur-tiduran di kamar sambil mendengarkan radio.
* * *
Esok harinya. Nirma bangun pada saat Subuh. Setelah sholat, ia tidur lagi. Pukul setengah enam, Nirma terbangun karena wekernya berbunyi. Setelah mematikan weker, Nirma turun ke bawah untuk ber-olah raga. Pukul setengah enam, Nirma masuk ke rumah setelah olah raga. Ia mengambil handuknya untuk mandi pagi dengan air dingin. Lumayan untuk menyegarkan pikiran kan? Setelah Nirma mandi, ia sarapan dengan daging goreng dan nasi hangat juga susu. Nirma siap berangkat ke sekolah yang dekat rumahnya. Setelah pamit, ia keluar dan berlari kecil. Tapi di gerbang rumahnya, pak pos datang.
"Apakah ini rumah, Nirma?" Tanya pak pos.
"O. Itu saya sendiri pak." Jawab Nirma sopan.
"Ada surat untuk dek Nirma. Boleh minta tanda tangannya?" Pak pos menyodorkan kertas dan pena.
Selesai menandatangi kertas itu, pak pos pergi meninggalkan Nirma.
Nirma memandang ampolop berwarna kuning dan ada stiker boneka beruang. Nirma membalik amplop itu.
"Dari siapa ya?" gumamnya.
Saat membaca pengirimnya, Nirma mulai cemberut dan membuang amplop itu ke tong sampah di dekatnya. Ia melanjutkan perjalanan menuju ke sekolahnya.
dan pengirim itu adalah 'SANIA''.
Di kelas, Sania menyapa Nirma yang baru datang. Namun, Nirma tak menjawabnya dan mulai angkuh. Hanay duduk dan menaruh tasnya. Lalu ke lapangan bermain dengan teman yang lain.
Sania mulai kecewa. Tapi Sania menghibur dirinya. Mungkin surat itu belum datang. Padahal, surat yang ia tulis secara ikhlas itu sudah terbuang dan hancur lebur.
* * *
Saat istirahat, Bu Nisa, guru seni memanggil Sania untuk latihan menari. Bu Nisa belum tahu kalau Sania mempunyai penyakit asma. Sania juga lupa kalau ia punya penyakit asma. Ia hanya langsung ke ruang seni untuk latihan menari.
Saat istirahat sudah usai, latihan juga usai. Bu Nisa mengizinkan Sania untuk beristirahat sebentar. Sania duduk di sofa sambil duduk selonjor. Tapi tiba-tiba, Sania mulai sesak nafas. Asma-nya mulai kambuh! Ia memanggil Bu Nisa dengan berbisik.
"Bu Nisa... Bu Nisa...." Bu Nisa yang sedang membereskan buku-buku di ruang piano menoleh pada Sania.
"Ada apa Sania sayang?" Tanya Bu Nisa sambil tersenyum manis.
"Sania, sesak nafas bu..." Mendengar itu, Bu Nisa langsung menggendong Sania menuju UKS (Unit Kesehatan Sekolah).
Saat diperiksa oleh Bu Lina, dokter di ditu....
"Sania mempunyai penyakit asma. Mungkin ia kecapekan berlatih tari." Jelas Bu Lina.
"Oh, Sania. Maafkan ibu. Karena ibu tidak tahu...." Bu Nisa duduk di samping Sania sambil menyesal.
"Ti...akh..tidak, ap-apa...eukh.. Sa..sa-nia ju...g..ga hehm... lupa..." Sania terbata-bata karena sesak nafas.
"Ini. Sania, kamu minum obat ini dulu ya. Semoga sedikit pulih. Bu Nisa, tolong rawat sebentar Sania. Saya mau memanggilkan mobil darurat sekolah untuk membawa Sania ke rumah sakit.
"Baik, Bu Lina. Saya akan menunggui Sania sebaik yang saya bisa. Sania. Kamu tidur dulu ya.... Sebelum tidur, kamu minum obat." Sania mengangguk. Lalu ia memejamkan mata.
* * *
Sania membuka mata.
"Akh.... aku ada di mana??..." Ia melihat ke hidungnya. Ternyata, Sania sedang diberi oksigen. lalu, Sania menengok ke kanan dan ke kiri. Di samping kanan ada Bu Nisa dan Bu Lina. Di samping kiri ada.... Nirma. Mimpi apa aku tadi? Batin Sania gembira.
"Sania! Akhirnya kamu siuman!" Kata Nirma setengah berteriak. Sania memeluk Nirma.
"Sania, maafkan aku. Aku memang bodoh. Saat aku menerima suratmu, aku malah membuangnya. Seharusnya, aku membacanya dulu. Maafkan aku Sania..." Air mata Nirma mulai menetes.
"Tidak apa-apa Nirma. Aku sudah memaafkanmu sebelum kau meminta maaf. Kau tetap sahabatku. Kau tahu, aku akan tetap menjadi sahabatmu sehidup semati. Itulah janjiku."
"Kau sudah bisa bicara dengan jelas, Sania? Aku tak percaya. Coba kau katakan beberapa kata lagi."
"Aku akan menjadi sahabatmu sehidup sematiku. Itulah janjiku." Sania juga tak percaya kalau dia tak asma lagi.
Dokter yang baru masuk juga kaget melihat perubahan yang begitu cepat itu.
"Pasti semua ini karena do'a mu itu, Nirma. Trims sahabatku...." Ujar Sania dan memeluk Nirma lagi.
"Sania harus tinggal di sini satu hari lagi. Dan lusa, ia boleh sekolah lagi." Dokter tersenyum melihat dua sahabat itu.
Bu Lina dan Bu Nisa hanya terharu melihat persahabatan itu.
"Aku berjanji untuk memaafkan apa pun kalau kau salah. Aku tak kan marah lagi." Janji Nirma.
"Dan aku akan selalu menjadi sahabat setiamu, Nirma. Aku janji." Sania juga menitikkan air mata karena sahabatnya sudah mau bersahabatan lagi dengannya.

Diketik oleh:Ibit
Cerita dibuat oleh:Shiba dan Ibit

Cerita ini untuk sahabatku yang sudah pindah rumah dan pindah sekolah. Adina Yumnita Adani. Aku akan selalu menjadi sahabat setiamu walau aku tak bisa bersuratan denganmu. Kau selalu ada di hatiku, dan aku tak akan pernah melupakanmu sehidup sematiku. Itu janjiku.















Sim, salabim!

Sekarang, di Wonogiri. Aku sedang bosan... jadinya, aku gak tidur. Main sama adik kayaknya seru! Udah deh, aku langsung ngajak mereka ke dalam kamar.
"Mainan apa nih?" Tanyaku.
Tiba-tiba, Arsyad membuka lemari dan duduk di situ. Tempatnya persegi. Arsyad dan Irsya pas buat duduk di situ.
Aku jadi inget sirkus, ada pesulap, dan relawan masuk lemari. Dikunci. Dan lemari dimasukan pedang panjang dan tajam. Saat pesulap mengatakan 'sim salabim!', dan pintu lemari akan dibuka. Saat dibuka, orangnya tidak apa-apa. Maka, aku mengajak mereka main itu.
Tapi, permainan ini dibuat agak beda. Kalau aku mengatakan 'sim salabim!'. Ar atau Ir menunjukkan anggota badan. Kalau aku menyuruh kaki, mereka mengetokkan kaki. Kalau kepala, ya kepala!
Aku sempet membuka pintu lemari di saat aku menyuruh Arsyad kepala. Saat dibuka Ir, ada yang mengagetkan! Kepala Ar ada di bawah. Kaki nyenden dinding, dan tangan memegang ujung lemari. Aku dan Ir sangat kaget. Aku mundur ke belakang dan tersandung kasur. AKu hanya tertawa sendiri. Ar sudah duduk kembali di dalam lemari. Aku menolongnya turun dan membereskan baju yang berantakan bersama kedua adikku ini.
Kalau mengingat wajah Ar yang serius dan mulutnya terbuka lebar saat kepalanya di bawah itu, aku hanya cekikikan. Seperti saat di warnet ini dan aku mengetiknya. AKu hanya tertawa sendiri dan orang lain kadang memandangku......
ANEH!