Senin, 27 September 2010

Mimi

"Tujuh pangkat dua, tuh, berapa sih, Mim?"
"Entahlah,"
"Kamu bisa ke rumahku, nanti sore?"
"Entahlah,"
"Bisakah nanti kamu online, di facebook?"
"Entahlah,"
"Mau minum teh di rumahku?"
"Entahlah,"
"Aku punya boneka baru. Mau pinjam?"
"Entahlah,"

Sahabatku, Mimi. Sejak kami mulai dekat, setiap kali aku bertanya. Dia pasti menjawabnya dengan kalimat: "Entahlah,"
Apa maksudnya itu?! Aku sebenarnya sudah frustasi dengan sifatnya. Aku tahu dia cantik, berbakat, dan pintar. Dia juga tidak cerewet. Kalemmmm... sekali. Tapi, apa aku berhak memarahinya. Meskipun dia sahabatku?
Sebenarnya, tanpa diminta pun. Dia selalu membantuku dalam segala hal. Tapi, itulah anehnya. Kalau aku meminta, atau memohon. Barulah dia tidak membantuku. Dan belakangan ini, aku tidak banyak bertanya padanya. Agar dia selalu membantuku.

Bagiku, Mimi adalah anak yang misterius. Meskipun kadang, dia tetap mengajakku bermain dengan ria. Tetapi, ada kalanya dia menjadi misterius. Itu seperti... seperti... seperti... Drakula. Pada siang hari, mungkin dia bermain ria di dalam goa, bersama teman-temannya. Tapi malam harinya, dia menghisap darah manusia dengan kejam. Dan tidak berperikemanusiaan. Saat diselidiki, sama sekali tidak meninggalkan jejak. Atau istilahnya; Misterius.
*************************************************************************************
Minggu siang ini, aku bermalas-malasan di dalam kamar. Menyalakan laptop, atau bermain boneka. Bulan ini, orang tuaku ke Amerika. Bulan depan, ke Singapore. Memang tidak menyenangkan apabila kedua orang tuaku itu tidak ada di rumah. Aku tidak punya kakak. Aku tidak punya adik. Jadi, kehadiran Mimi di kehidupanku sangat menguntungkanku. Dia suka sekali menginap di rumahku. Maka dari itu, Aku sering sekali mengadakan acara Girl's Sleepover di rumahku.
Tentu saja yang hadir tidak hanya Mimi. Beberapa teman kelas yang dijinkan juga ikut. Aku begitu senang di saat-saat itu.

Tapi, semua itu sudah lewat. Sekarang aku sudah kelas 3 SMA. Apa daya yang akan kulakukan. Beberapa pekan lagi, aku sudah masuk Universitas. Aku selalu berusaha membayangkan semua keasyikan menjadi seorang Mahasiswi. Dulu, saat masih Sekolah Dasar, aku dan Mimi selalu mengkhayalkan diri kami saat dewasa. Menikah dengan siapa, punya anak berapa, tinggal dimana.... Kami menebak-nebak.
Tapi anehnya, sekarang, saat hidup itu hampir kugapai. Aku malah sedih, dan kecewa. Sejak masuk SMP, aku sudah tidak bertemu Mimi. Dan saat masuk Universitas nanti, aku tidak akan bertemu dengan semua teman-temanku. Mereka masuk Universitas di Indonesia. Sedangkan aku, masuk Universitas Singapore.
Hhhh... semuanya telah berubah.

"Ayu, siapkan semua baju yang ada di lemari. Semua barangmu, harus bisa dimasukkan ke dalam tida koper besar, lho, ya..."
"Iya, Ma. Aku bisa mengurus diri sendiri, kok. Tenang aja. Pas liburan nanti, aku pasti ke Perancis. Oke, deh, Ma. Aku siap-siap dulu. Dagh..." Aku menutup HPku. Sebenarnya, semua barang sudah kusiapkan. Lalu aku memungut sebuah pigura foto.
"Mimi..." ya, disitu adalah fotoku dan Mimi saat aku mengajak keluarga Mimi ikut berlibur dengan kami ke Jepang. Kami berfoto ria di bawah pohon sakura. Tak sadar, air mataku menetes. Aku sudah sangat merindukannya.
Semua kemisteriusannya, senyumnya, semangatnya, candanya, kepintarannya... Semuanya. Oh, Mimi. Sebentar lagi aku akan meninggalkan Indonesia beberapa tahun lamanya. Tolong, perlihatkanlah batang hidungmu. Agar bisa kutarik, lalu aku bisa memelukmu untuk terakhir kalinya. Aku sudah tak peduli dengan semua kata "Entahlah," kepunyaanmu. Aku hanya ingin melihat senyuman manismu.

Tolong, Mimi... Perlihatkanlah dirimu... Aku mohon....
*************************************************************************************
Saatnya sudah tiba. Aku berangkat ke Singapore. Berkali-kali kuusap air mataku yang selalu menetes. Teman-temanku sibuk mengingat kenangan kami dari Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, SMP, SMA, dan detik ini. Sekarang.
"Sayang, Mimi tidak ada disini. Andaikan dia ada di sini, apakah kau ingin menyuruhnya menyanyi untuk terakhir kalinya, Yu?" tanya seorang temanku.
"Tentu saja. itu, pasti. Tapi dia tidak ada disini, Mel," tanggapku sedih.
Teman-temanku langsung menutup rapat bibir mereka. Mereka tahu, aku rindu Mimi. Aku ingin bertemu dengannya. Setelah enam tahun lamanya tidak bertemu. Bayangkanlah...

Pesawat yang akan aku tumpangi sudah tiba. Semua teman-temanku mengeluarkan barang kenangan untukku. Aku tidak bersedih untuk mereka. Aku bersedih, karena tidak bisa melihat Mimi. M-i-m-i. Mimi. Ya ampun, apa yang harus aku lakukan, agar kau menampakkan diri, Mimi?
"Sukses disana, ya, Yu. Kamu masih bisa balik ke Indonesia, kan? Kapan-kapan..."
"Yup. Kita bisa ngadain Girl's Sleepover lagi. Tapi di hotel. Nyenengin nggak, tuh?"
"Hahaha.... aku tahu. Semua yang udah lalu, jangan dilupakan ya?" Aku mengingatkan.
"Simpen barangku, ya, Yu."
"Aku juga!"
"Jangan lupakan aku, dong..."
"Aku yang pastinya tidak akan dilupakan." suara seseorang paling belakang. Dengan rambut hitam dan panjang, wajahnya pucat. Suaranya misterius. Tapi anehnya, semua teman-temanku tidak mendengarkan suara itu.
"Akulah, Mimi, Ayu." orang misterius itu melanjutkan kalimatnya.
"Kaukah, Mimi?" Aku berjalan ke orang itu. Aku tidak begitu yakin, dia itu adalah Mimi.
Aku di depan gadis itu. Sekitar tiga langkah. Tiba-tiba, dia menyergapku. Memelukku. Bajuku basah oleh tangisannya. Aku baru sadar. Dia benar-benar Mimi yang aku cari.
"Bagaimana kau tahu aku disini, Mim?" tanyaku sedih. "Aku akan berangkat sepuluh menit lagi."
"Aku bisa meramal, Yu. Dan ramalanku saat kita SD ternyata benar. Universitas mu ada di Singapore! Singapore, Yu! Selamat untukmu, Yu!" Mimi menjabat tanganku dengan erat.
"Aku tahu," aku memeluk Mimi dengan erat.

"Yu, aku nggak mungkin bakal meluk kamu terus, kan?" tanya Mimi. Aku mengangguk pelan. "kalo gitu, kamu cepet berangkat. Nanti di dalam pesawat, aku punya kejutan buatmu."
"Kamu....?" Aku tidak rela melepaskan tangannya yang dingin, Tapi bagiku, hangat.... Sehangat kain sutra.
"Udah, cepetan... habis ini, aku mau kembali ke awan..."
"Hah?"
"Dadah, Ayu!!!!" Mimi lalu meninggalkan ku. dia keluar bandara.

Aku dengan hati tenang, lalu menggenggam tiket pesawatku dengan semangat. Saat aku berlari. Seorang temanku bertanya;
"Kamu tadi ngobrol sama sapa, tho, Yu????"
Aku menjawabnya dengan senang dan jujur.
"Dengan MIMI!!!! Aku pamit ya...!!!!" aku lalu naik tangga. Dan beberapa anak tangga lagi, aku masuk ke dalam pesawat.
Aku menghela napas. Tekadku untuk masuk Universitas ramalan Mimi, sudah bulat. Akhirnya aku masuk peswat. Dan mencari kursiku.

Dan di kursiku itu, ada sebuah surat. Dari kertas putih. Tapi saat kuraba, kertas itu halus sekali. Seperti terbuat dari awan.

Untuk sahabatku, Ayu...
Ayu, maafkan aku. Bikin kamu kaget, ya? Temen-temenmu bener. Kamu itu, sebenarnya ngobrol dengan siapa?
Kamu itu, mengobrol dengan.... ARWAHku.
Kumohon, jangan menangis, jangan menangis....
Jangan sedih... jangan sedih....
Aku meninggal, karena tertabrak mobil
Aku tahu, kamu nggak terima
Tapi, itulah alasanku. Tidak satu SMP denganmu.
Karena aku tahu, aku sudah sampai di sana.
Tempat tinggal baruku ada di kampung halamanku.
Di samping SD kita dulu, Yu.

Jangan sedih, dari mantan sahabatmu, yang kini bahagia melihatmu....
Mimi