Hari ini diajak Ovi naik BRT. Awalnya aku ogah, karena aku
merasa rugi naik BRT. Lebih baik naik Damri. Kenapa? Tarif BRT jauh-dekat tetap
aja dua ribu rupiah untuk seorang pelajar. Padahal dari sekolah sampai rumah,
aku hanya melewati dua halte jika turun di halte BP3PKI. Jika aku turun di
halte Pudak Payung, aku hanya melewati satu halte. Jadi, aku lebih rugi lagi,
kan? Sedangkan aku naik Damri hanya membayar seribu rupiah. Sama saja. Tempat
duduk antar penumpang berhadapan, dan tentu saja ber-AC.
“Plis, Bit. Kemarin kan aku mbok ajak naik ojek…”
Aku langsung mengingat dua hari sebelumnya. Aku mengajak Ovi
naik ojek dari sekolah. Aku merayunya dan membuat dia mengasihani aku. Hari itu
aku pulang jam setengah lima dan bawaanku berat. Saat itu pasti sudah tidak ada
ojek di gerbang perumahan. Lagipula aku juga nggak sanggup berjalan dari jalan
raya sampai rumah dengan kaki keseleo. Dan akhirnya Ovi luluh.
“Iya deh, naik BRT.” Jawabku setelah playback.
Sebelum berjalan menuju halte, aku, Ovi, dan Ena berhenti
membeli air kelapa. Haus, soalnya. Lalu kami berjalan menuju halte yang
kursinya rusak. Seharusnya, alas duduknya ada tiga batang besi. Tapi sekarang
hanya ada satu besi yang membuat aku hampir jatuh ke belakang. Gara-gara tasku
yang berat juga hari ini. Dan aku mengubah posisi dudukku, menghadap ke kanan.
Jadi, kursi ini masih bisa menopang tasku dan aku tidak jatuh. Tapi sakit juga
sih…
Cukup lama kami menunggu BRT datang. Aku sempat menyuruh Ena
mengambilkan komik Conan di ranselku. Belum banyak aku membaca, BRT datang.
Niatku untuk melanjutkan membaca pun pupus. Ketika melihat banyak penumpang BRT
yang berdiri. Kuhela nafasku. Aku harus sanggup berdiri. Aku meletakkan komikku
di tas makan siang.
Dan saat aku masuk BRT, aroma keringat semerbak di dalamnya.
Untung ada AC, aku masih bisa membetahkan diri untuk berdiri disini. Aku menyempilkan diri di antara penumpang
yang berdiri. Karena tak bisa menggapai gantungan (itu lho, untuk penumpang
yang berdiri) aku menggenggam palang di dekat pintu tengah, di sebelah
mbak-mbak. Belum lama setelah itu, ada ibu-ibu yang memanggilku dan menyuruhku
duduk di kursi kosong di sampingnya. Aku langsung menepuk bahu Ovi dan
menyuruhnya duduk disana. Aku mau saja duduk, tapi gimanaaa gitu. Aku nyaman di
dekat Ena.
Tiba di halte berikutnya, ada dua kursi kosong di belakang.
Aku menepuk bahu Ena dan mengajaknya duduk disana. Tapi tiba-tiba ada anak
laki-laki yang menyerobotku dan dia pun duduk di samping Ena. Aku melihat anak
laki-laki itu tadi. Dia berdiri di samping kursi ibunya dan membawakan tas
ibunya yang lumayan besar. Dan sepertinya dia sudah berdiri lama. Aku hanya
mengangguk kecil ke Ena lalu berpegangan pada palang lagi.
Aku menundukkan kepalaku, ke arah sepatuku. Ada koin lima
ratus di samping sepatu kiri. Aku langsung menginjaknya. Lalu aku menyebarkan
pandanganku di antara kaki para penumpang. Aku melihat koin seribu di dekat
kaki mbak-mbak yang bersandar pada palang yang kupegang. Ingin aku
menginjaknya, tapi takut dilihat penumpang lain. Lagipula jaraknya agak jauh.
Akhirnya aku berdo’a agar koin seribuan itu bergeser ke
arahku agar dapat kuinjak pula. Setelah dekat dengan halte Pudak Payung, aku
secepat kilat mengambil koin lima ratus yang kuinjak tadi. Sempat ada yang
melihat, tapi aku cuek saja.
Di halte, bersama Ena, aku menceritakan pengalamanku barusan
di dalam BRT.
“Pantes aja kamu nggak mau duduk, Bit!” tuduhnya.
“Enggak kok, aku baru lihat koinnya habis kamu duduk…” aku
membela diri.
“Aku juga mau koin seribuannya…”
Lalu di pangkalan ojek kami berpisah. Dan aku melihat koin
lima ratusku tadi, aku cuma tertawa kecil. Sekarang aku tinggal menunggu sampai aku tiba
di rumah dan ‘memeluk’ komik.
3 komentar:
waaah... kalau saja dapat yang koin seribuannya, berarti naik BRT cuma bayar 500 :))
ahaha.. ada2 aja :)
hehehe... salam kenal :)
Posting Komentar