Namanya
Ratih. Aku sudah mengenalnya beberapa minggu yang lalu. Sebagai pendatang baru
di daerah Danau Toba, tentu saja aku harus memiliki teman.
Ratih
selalu menggunakan kerudung merah yang sama. Entah dia punya banyak stok atau
hanya satu tapi dia gunakan terus tanpa dicuci. Sempat jijik aku memikirkannya.
Tapi aku positive thinking aja. Anak
baik dan pendiam seperti dia, mana mungkin benci kebersihan???
Setiap
sore, kami duduk-duduk di tepian danau. Mengobrol ini-itu. Angin yang berhembus
membuat kerudungnya bergoyang-goyang. Tampak sangat indah.
Suatu
hari, aku meminta Ratih untuk mengajakku ke rumahnya.
“Ratih,
kita main ke rumahmu yuk!”
“Nggak
mau ah... Errr.... Rumahku...”
“Rumahmu
kenapa, Tih...?”
“Rumahku...
jelek.”
“Ahh...
apa peduliku! Aku harus tau rumahmu dong! Kalo ada keperluan apa... kan aku
nggak bisa beritahu kamu lewat telepati jarak jauh???”
Ratih
terkikik.
“Lagipula,
kau sudah pernah ke rumahku yang jelek kan? Aku yakin rumahku sepuluh kali
lebih jelek dari rumahmu! Ayolah....”
“Oke,
Ayu. Kita ke rumahku. Kita jalan sebentar, ya.”
Sampai
di rumahnya, aku menyenggol Ratih. “Rumah sebagus ini kau sebut jelek?! Kau
gila!” pujiku.
“Biasa
saja, yuk masuk!”
Kami
masuk ke dalam. Ibu Ratih mempersilahkan kami duduk lesehan di karpet. Beliau
membawakan teh hangat dan biskuit cokelat.
“Sebentar,
ibu ambilin wafer sama keripik ya!” Ibu Ratih berbalik ke dapur. Tapi segera
kucegah.
“Nggak
usah! Saya cuma sebentar, kok, disini. Cuma mau main sama Ratih.”
“Ya
sudah... Ratih, Ibu ke kamar dulu ya...” dibalas oleh Ratih dengan anggukan
kecil.
Setelah
menghabiskan teh dan biskuit....
“Ke
kamarmu yuk, Tih!”
“Mmmm....
iya...” kata Ratih ragu-ragu.
Kami
berjalan menuju kamar Ratih yang dua kali lebih besar dari kamarku. Aku langsung
menjatuhkan diri di kasurnya.
“Aku
mau ke kamar mandi dulu. O iya, jangan buka lemari pojok itu ya. Jangan buka
yang paling bawah. Ada rahasiaku disitu.” Ucap Ratih. Ratih lalu keluar kamar.
Setelah
memastikan Ratih jauh dari kamar, aku langsung berlari ke lemari pojok. Karena
dilarang Ratih membuka laci paling bawah, aku malah semakin penasaran. Surat
cintakah isinya? Atau barang berharga? Bisa jadi isinya obat-obatan terlarang. Tapi,
Ratih masih berumur 12 tahun. Sama sepertiku.
Aku
berhenti berfikir. Tanpa pikir panjang lagi, perlahan-lahan aku menarik
gagangnya. “Maaf ya, Ratih.....”
Saat
dibuka, aku langsung melihat banyak botol yang serupa. Kuambil satu. Kubaca
tulisannya. ‘Obat Penumbuh Rambut’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar